PERNGARUH LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA
DOSEN PEMBIMBING: AGUSTINE NURHAYATI S.Pd., M.Pd

Disusun oleh:
Ahmad Laudza’I Wafail ‘Ulum
NIM 095200276
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2010
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Teori Belajar bahasa dengan judul : “Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa”.
Dalam penyusunan Makalah Teori Belajar Bahasa ini, penulis banyak mendapat bantuan-bantuan dan bimbingan-bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Drs. H. Sutijono, M.Pd, selaku Rektor Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
2. Ibu Dra. Luluk Isani Kulup, M.Pd, selaku ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
3. Ibu Agustine Nurhayati, S.Pd., M.Pd, selaku Dosen Pembimbing Makalah Teori Belajar Bahasa.
4. Semua teman-teman seangkatan serta semua pihak yang membantu proses penyusunan Makalah Teori Belajar Bahasa ini.
Mudah-mudahan Allah SWT membalas amal baik mereka semua. Penulis menyadari bahwa Makalah Teori Belajar Bahasa ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran sebagai upaya penyempurnaan Makalah Teori Belajar Bahasa ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Makalah Teori Belajar Bahasa ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah pada khususnya dan Seluruh Mahasiswa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya pada umumnya, sehingga dapat menerapkan pengetahuan ini ke masyarakat luas. Amin.
Surabaya, Januari 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman judul....................................................................................... i
Kata Pengantar..................................................................................... ii
Daftar isi................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 2
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak......................................... 3
2.1.1. Pandangan Nativisme...................................................... 3
2.1.2. Pandangan Behaviorisme................................................ 4
2.1.3. Pandangan Kognitivisme................................................. 5
2.2 Teori Eric Lenneberg.............................................................. 6
2.3 Studi Kasus yang Terganggu oleh Lingkungan Sosial........... 8
2.3.1. Kasus Genie..................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Bahasa Anak yang Hidup di Lingkungan
...... Preman.................................................................................... 11
3.2. Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pemerolehan dan
...... Pembelajaran Bahasa.............................................................. 11
3.3. Perkembangan Bahasa Terhadap Anak yang Terasing dari
...... Lingkungan Kehidupan Manusia............................................ 12
3.4. Perkembangan Bahasa Anak yang Memunyai Cacat Fisik
...... Tuna Rungu (Tuli)................................................................... 13
BAB IV PENUTUP
4.1. Simpulan................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan perubahan dalam perilaku atau proses perkembangan yang asalnya tidak tahu menjadi tahu, dan juga dikatakan sebagai bertambahnya ketrampilan atau pengalaman. Sedangkan bahasa merupakan suatu lambang bunyi manusia yang arbitrer sebagai alat komunikasi dan untuk menyampaikan isi pikiran atau gagasan dan juga merupakan suatu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran diperlukan adanya proses. Dalam proses tersebut melibatkan kompetensi dan performansi.
Dalam teori belajar bahasa pemerolehan bahasa merupakan proses yang berlangsung dari dalam otak anak dalam menerima bahasa pertama atau bahasa ibu yang dilakukan secara tidak sadar. Sedangkan pembelajaran bahasa merupakan pemahaman terhadap pemerolehan bahasa yang diterima oleh anak di lingkungan dan secara sadar, pembelajaran biasanya terjadi di lingkungan formal atau saat pemerolehan bahasa kedua.
Proses pemerolehan bahasa yang berupa kompetensi itu adalah kemampuan yang di bawah oleh anak sejak lahir tentang penguasaan tata bahasa. Sedangkan performansi adalah penampilan anak dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi yang berupa pemahaman dan juga kemampuan untuk menghasilkan bahasa atau kalimat.
Namun semua pemerolehan dan pembelajaran bahasa tidak bisa semudah apa yang dibayangkan, di dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa banyak yang ditemukan/dijumpai gangguan dan faktor yang memengaruhinya, terutama faktor lingkungan baik lingkungan sosial, keluarga maupun lingkungan formal.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah perkembangan bahasa anak yang hidup di lingkungan preman?
1.2.2 Bagaimanakah pengaruh teman sebaya terhadap pemerolehan dan pembelajaran bahasa?
1.2.3 Bagaimanakah perkembangan bahasa terhadap anak yang terasing dari lingkungan kehidupan manusia?
1.2.4 Bagaimanakah perkembangan bahasa anak yang memunyai cacat fisik tuna rungu (tuli)?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan perkembangan bahasa anak yang hidup di lingkungan preman.
1.3.2 Mendeskripsikan pengaruh teman sebaya terhadap pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
1.3.3 Mendeskripsikan perkembangan bahasa terhadap anak yang terasing dari lingkungan kehidupan manusia.
1.3.4 Mendeskripsikan perkembangan bahasa anak yang memunyai cacat fisik tuna rungu (tuli).
BAB II
KAJIAN TEORI
Dalam sebuah pembelajaran bahasa banyak teori-teori yang digunakan, namun dalam bab ini akan dijelaskan beberapa teori yang berhubungan dengan pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak
Perkembangan teori pemerolehan bahasa yang dijelaskan oleh beberapa pakar menjelaskan bahwa teori tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan psikologi. Ellis (1986: 127-129 dalam Bambang 2008: 16) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, yaitu (1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandangan interaksionisme. Van Els et al. (1987: 28 dalam Bambang, 2008: 17) mengungkapkan bahwa tiga pandangan tersebut terdiri atas, pendekatan (1) behaviorisme, (2) mentalisme, dan (3) procedural. Sedangkan Brown, (1987: 17 dalam Bambang, 2008:17) menunjukkan bahwa pandangan tersebut terdiri atas, (1) pendekatan behaviorisme, (2) pendekatan mentalisme, dan (3) pendekatan fungsional. (Bambang, 2008:16-17).
Selain Ellis, Van Els et al, dan Brown ketiga pandangan tersebut diwakili oleh beberapa pakar terkemuka yang menjelaskan secara rinci, seperti nativisme diwakili oleh Noam Chomsky, pandangan behaviorisme diwakili oleh B.F. Skinner, dan pandangan kognitivisme oleh Jean Piaget.
2.1.1 Pandangan Nativisme
Nativisme berpendapat bahwa selama pemerolehan bahasa pertama, kanak-kanak (manusia) sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingkungan punya pengaruh dalam pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan dengan yang disebut “hipotesis pemberian alam”. Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi, pasti ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah.
Chomsky (1965, 1975) melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, tetapi juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan atau pelaksanaan bahasa (performans). Manusia tidaklah mungkin belajar bahasa dar orang lain. Selama belajar mereka menggunakan prinsip-prinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa.
Menurut Chomsky bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Binatang tidak mungkin dapat mennguasai bahasa manusia. Pendapat ini didasarkan pada asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), pola perkembangan bahasa adalah sama pada semua macam bahasa dan budaya (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan hanya memiliki peranan kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat, anak berusia empat tahun sudah dapat berbicara mirip dengan orang dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemeroleha bahasa” (language acquisition device (LAD). Alat ini yang merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk memproses bahasa, dan tidak punya kaitan dengan kemampuan kognitif lainya. (Chaer, 2009: 222).
2.1.2 Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa merupakan salah satu perilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Skinner (1969) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau demikian anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah (rule-governed)” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa dilingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S – R (stimulus-respon) dan proses peniruan-peniruan. (Chaer, 2009: 222-223).
2.1.3 Pandangan Kognitivisme
Jean piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar, maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.
Piaget menegaskan bahwa sturktur yang kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus-menerus antara tingkat fungsi kognitif anak dengan lingkungan kebahasaaannya (juga lingkungan lain). Struktur itu timbul secara tak terelakan, maka struktur itu tidak perlu tersediakan secara alamiah.
Kalau Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar pegaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungannya.
Tahap perkembangan dari lahir sampai 18 bulan oleh Piaget disebut sebagai tahap “sensori motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan lambang-lambang untuk menunjuk pada benda-benda di sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia melalui alat indranya (sensory) dan gerak kegiatan yang dilakukannya (motor). Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara langsung. Begitu benda itu hilang dari penglihatannya maka benda itu dianggap tidak ada lagi. Menjelang akhir usia satu tahun barulah anak itu dapat menangkap bahwa objek itu tetap ada (permanen), meskipun sedang tidak dilihatnya. Sedang dilihat atau tidak benda itu tetap ada sebagai benda, yang memiliki sifat permanen.
Sesudah mengerti kepermanenan objek anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapakan si anak. Jadi, menurut pandangan kognitivisme perkembangan kognitif harus tercapai lebih dahulu, dan baru sesudah itu pegetahuan itu dapat keluar dalam bentuk ketrampilan berbahasa. (Chaer, 2009: 223-224).
2.2 Teori Eric Lenneberg
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964. dalam Chaer, 2009: 58). Teori ini secara kebetulan ada kesamaanya dengan teori Chomsky dan juga dengan pandangan Piaget.
Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Kanak-kanak, menurut Lenneberg telah memunyai biologi utuk berbahasa pada waktu mereka masih berada pada tingkat kemampuan berpikir yang rendah, kemampuan bercakap dan memahami kalimat memunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah menunjukkan bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang cacat mental dan kanak-kanak yang normal. Umpamanya, kanak-kanak yang mempunyai IQ hanya 50 ketika berumur 12 tahun dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun, juga mampu menguasai bahasa dengan cukup baik, kecuali dengan sesekali terjadi kesalahan ucapan dan kesalahan tata bahasa. Oleh karena itu, menurut Lenneberg adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan pula terjadi kerusakan bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan menimbulkan kemampuan kognitif yang rendah.
Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa untuk berbahasa menurut Lenneberg adalah sebagai berikut:
1. kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu (bagian korteks tertentu) yang mendasari bahasa.
2. Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua kanak-kanak normal. Semua kanak-kanak bisa dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pada kanak-kanak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa kanak-kanak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.
4. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah diajar dengan cara-cara yang luar biasa.
5. Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantik, sintaksis, dan fonologi yang universal.
Lenneberg telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.
Jadi, terdapat semacam percabangan dalam teori Lenneberg ini. Dia seolah-olah bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran suatu bahasa masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara ontogonis tidak ada hubungannya dengan kognisi, sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas. (Chaer, 2009: 58-59).
2.3 Studi Kasus yang Terganggu oleh Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan sosial adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang. (Chauchard, 1983: 68-69. dalam Chaer, 2009: 161).
2.3.1 Kasus Genie
Kasus adanya anak manusia yang tetap dalam “asuhan” orangtuanya, tetapi dengan cara yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusia 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada radio atau televisi di rumah itu, dan ayah Genie membenci suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengarkan suara apapun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu-satunya orang yang sering dijumpai adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama-lama dengan Genie saat memberi makan. Tanpa berbicara apa-apa si ibu memberi makan Genie dengan selalu tergesa-gesa.
Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak-anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah.
Ketika pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa. Namun, dari evaluasi perawatan bulan-bulan pertama dapat simpulan bahwa Genie adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tdak seperti anak-anak lemah mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara emosional, tetapi dia tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat memperkuat keterbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.
Genie ketika ditemukan dia tidak dapat berbicara, meskipun telah berumur hamper 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan serangkaian tes. Dari tes awal dapat diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata-kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali kaidah gramatika. Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun kenyataan menunjukan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa.
Ada teori mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap untuk mempelajari bahsa tertentu adalah selama masa kanak-kanak hingga masa puber, atau yang dikatakan Lenneberg (1967. dalam Chaer. 2009: 164) antara usia dua tahun sampai masa akil baligh. Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak-kanak yang normal.
Memang terdapat beberapa perbedaan antara bahasa Genie dengan bahasa kanak-kanak normal. Perbedaan itu antara lain (Fromkin, dkk 1981. dalam Chaer. 2009: 164).
Pertama, kosakata Genie lebih banyak daripada kosakata anak-anak normal yang memiliki kerumitan sama dengan Genie. Genie lebih mudah mengingat daftar kata daripada mempelajari kaidah gramatika. Hal ini menunjukkan bahwa pemerolehan bukan hanya mengacu pada kemampuan menyimpan banyak hal dalam ingatan.
Kedua, Genie tidak dapat membuat kalimat pasif, padahal kanak-kanak normal dapat menyusunnya sewaktu berumur tiga tahun.
Ketiga, performansi kebahasaan Genie setra dengan kemampuan otak normal anak yang berusia antara dua sampai dua setengah tahun.
Keempat, kemampuan Genie dalam berbahasa lebih lamban daripada kemampuan kanak-kanak normal.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Genie memang terasing tetapi masih berada dalam lingkungan sosial manusia. Maka, meskipun dengan sangat sukar dia masih memiliki kemampuan berbahasa meskipun sebagai kemampuan permulaan. (Chaer. 2009: 163-165).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Bahasa Anak yang Hidup di Lingkungan Preman.
Menurut kaum behavioris yang diwakili oleh Skinner bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi anak. Jadi, Perkembangan bahasa anak menurut teori behaviorisme terpengaruh oleh lingkungan. Karena kehidupannya di lingkungan preman maka pemerolehan bahasanya kurang ditentukan oleh lingkungan tersebut. Karena yang paling dominan dalam perkembangan bahasa adalah lingkungan. Hasil masukan atau bahasa yang diterimanya tidak bagus maka anak akan meniru apa yang diterimanya sehingga anak tersebut tidak terkontrol dalam pemerolehan dan pembelajarannya tidak terjadi pembelajaran yang baik.
Dalam perkembangan anak suatu lingkungan menentukan seperti halnya dilingkungan preman yang terjadi pada Shandi, anak tersebut tidak hanya bahasanya tetapi juga perbuatannya, dari kecil sudah seperti tingkah laku seorang preman. Di setiap harinya dia sering berkata kotor dan sebagainya. Dalam perbuatannya dia sering melakukan seperti halnya orang dewasa bahkan dia mengerti tentang sex dan lain sebagainya.
Dalam perkembangan seperti itu kita dapat melihat bahwa itu merupakan pengaruh dari lingkungan sosial, karena dari kecil hidup di lingkungan yang tidak bagus akhirnya dia juga terpengaruh oleh lingkungan tersebut.
3.2 Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa.
Berbeda dengan pembahasan pertama, menurut pandangan nativisme yang diwakili oleh Chomsky berpendapat bahwa anak sudah dibekali LAD sejak ia lahir sehingga pemerolehan bahasa anak itu ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa anak tersebut tergantung keturunan keluarganya. Dalam perkembangan bahasanya Subhi yang merupakan keturunan dari orang baik pasti akan memunyai perkembangan bahasa yang baik, disamping itu dia juga memperoleh input/masukan yang selalu baik dari teman sebayanya yang berada di lingkungan pesantren sehingga dia tidak mengenal istilah yang kotor-kotor. Dalam pembelajarannya dia langsung berhubungan dengan orang yang selalu berbuat sopan dan terkontrol sehingga dia juga tidak pernah berkata kotor dan berbuat selalu baik bahkan dalam perilakunya dia tidak mau berbuat jelek atau berkata kotor karena dari faktor keturunan dia termasuk orang yang baik dan dalam awal pemerolehan bahasanya dia tidak pernah menerima input yang kotor sehingga dia terbiasa dengan perilakunya yang baik, bahkan berbicara dengan orangtua pun dia menggunakan bahasa yang halus tidak kasar seperti dalam bahasa jawa yang disebut Bahasa Krama.
3.3 Perkembangan Bahasa Terhadap Anak yang Terasing dari Lingkungan Kehidupan Manusia.
Menurut pandangan kognitif yang diwakili Piaget bahwa sebelum pemerolehan bahasa itu terjadi anak memahami lambang-lambang atau simbol dunia luar dengan alat indranya dulu, baru kemudian anak itu melakukan kegiatan dengan alat geraknya. Seperti halnya seorang tarzan yang hidup terasing dari kehidupan manusia yang merupakan suatu gangguan yang sangat dominan, yang dia lihat merupakan pemahaman tentang kehidupannya dan dia melakukan gerak kegiatan apa yang dipahami dengan motoriknya. Sehingga dia tidak mengerti bahasa manusia sama sekali, dilihat dari segi biologis memang dia seorang manusia namun karena tinggal di lingkungan selain manusia melainkan binatang. Jadi, apa yang dia pahami hanyalah dunia binatang tersebut dan dia mempraktekkannya dengan alat geraknya. Sehinggga hanya bisa bahasa binatang, karena dari kecil dia hidup dengan sekumpulan binatang. Dan jauh dari kelompok manusia sehingga di tidak mengerti bahasa manusia sama sekali dan otaknya tidak bisa berfungsi dengan sempurna, seperti bahasa monyet yang ia tiru, dia akan meniru apa yang dilakukan monyet dalam perilakunya sehingga dia tidak memunyai taraf kebudayaan dan dengan bertambahnya usia dia tidak bisa menjadi sesosok manusia seutuhnya.
3.4 Perkembangan Bahasa Anak yang Memunyai Cacat Fisik Tuna Rungu (Tuli).
Anak tuli merupakan cacat fisik yang tidak bisa mendengar, keuntungannya dia masih hidup dalam kehidupan masyarakat manusia. Namun dia terasing dalam kontak bahasa, tetapi dia bisa berkomunikasi dengan yang lainnya. Dia tidak bisa memeroleh bahasa dengan sempurna karena dia tidak bisa mendengar perkataannya sendiri dan perkataan orang lain namun masih bisa melihat gerak mulut orang yang berbicara, merasakan gerak-gerak urat dan otot daging mulut dan juga mampu merasakan getaran mulut dan suara-suaranya waktu mengeluarkan suara, gerak mulut bisa dia rasakan karena ada getaran organ-organ pembentuk suara. Dia hanya bisa melihat gerak mulut orang lain dan menirukannya.
Pada anak tuli tidak ada motivasi yang cukup agar suaranya berkembang dia bisa bersuara dengan sendirinya tanpa ada masukan dari orang lain karena dia tidak bisa mendengar perkataan dari orang lain, padahal suara orang dari sekelilingnya sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa mendengar suara/bahasa orang di sekelilingnya, tidak mungkin kemampuan berbahasanya berkembang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak terasing karena tuli tidak ada yang mengajak dan di ajak berbicara sehingga tidak mungkin dapat berbahasa karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat, maka dengan cepat dia menjadi tidak dapat berbahasa sama sekali.
Namun dalam teori yang dikemukakan oleh Eric Lenneberg bahwa anak itu memperoleh warisan biologis asli yang berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, meskipun dia tuli atau cacat fisik yang lainnya dia tetap bisa berbahasa. Namun tahapannya yang berbeda dengan anak yang normal, anak tuli atau cacat fisik yang lainnya perkembangan bahasanya agak terlambat.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Pemerolehan dan pembelajaran bahasa merupakan suatu perkembangan bahasa anak yang harus dikuasai oleh anak dengan baik dan benar. Namun dalamnya prosesnya melibatkan kompetensi dan performansi. Kompetensi merupakan kemampuan anak yang dibawa sejak lahir. Sedangkan performansi merupakan penampilan dari kompetensi tersebut yang berupa pemahaman atau penerbitan kalimat-kalimat.
Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa anak ada banyak teori yang mendasarinya dan juga faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa tersebut. Teori behavioris yang diwakili oleh Skinner mengatakan bahwa anak lahir itu bagaikan kertas kosong yang butuh masukan dari lingkungan dalam perkembangan bahasanya jadi perkembangan bahasanya ditentukan oleh lingkungan. Teori nativis yang diwakili oleh Chomsky mengungkapkan bahwa anak sejak lahir sudah dibekali alat pemerolehan bahasa yang berupa LAD yang merupakan pemberian biologis, bahwa bahasa hanya dimiliki oleh manusia dan dalam perkembangan bahasanya ditentukan LAD tersebut melalui faktor genetik. Sedangkan teori kognitif yang diwakili oleh Piaget mengungkapkan bahwa anak mempelajari bahasa dari kemampuan yang berasal dari kematangan kognitifnya dan dalam perkembangannya anak terlibat langsung dengan dunia sekitarnya, anak memahami apa yang dia lihat dengan indranya dan mempraktekkan dengan alat geraknya. Teori Eric Lenneberg menyebutkan bahwa bahasa anak itu pasti bisa berkembang meskipun anak tersebut cacat karena manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, amun untuk anak cacat tahapannya berbeda anak cacat perkembangan bahasanya agak lambat dari anak normal.
Keterasingan merupakan suatu faktor yang sangat menentukan perkembangan bahasa baik terasing dari lingkungan masyarakat manusia maupun terasing dari kehidupan sosial masyarakat, dan teman sebaya juga mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Karena semua itu mempengaruhi emosi/mental anak yang dalam proses perkembangan bahasa. Tetapi faktor yang paling dominan dalam perkembangan bahasa anak sejak lahir adalah lingkungan. Meskipun warisan biologisnya bagus, namun lingkungan tidak mendukung. maka perkembangan bahasa si anak kurang maksimal dan tidak membuahkan hasil yang sempurna.
Dalam kasus yang ada bahwa kebanyakan perkembangan bahasa ditentukan oleh banyak faktor. Namun pada hakikatnya semua faktor memengaruhi perkembangan bahasa anak, anak-anak menerima input baik meniru (immitation) atau yang lainnya, kemudian saraf otaknya mengolah hasil masukan tersebut yang menimbulkan stimulus-respons. Dan hasil pemikiran anak tersebut akan menghasilkan atau memproduksi suatu bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta
Yulianto, Bambang. 2008. Pengantar Teori Belajar Bahasa. Surabaya: Unesa University Press
casino, sports betting, live casino and poker
BalasHapusCasino, online and betting. Casino offers 삼척 출장마사지 all types 밀양 출장샵 of 목포 출장안마 games including roulette, blackjack, live dealer 광주 출장샵 poker, 남원 출장샵 scratch cards, video poker and many